Aku berfikir kembali dalam benakku. Apakah dia, perempuan
itu? Perempuan dalam mimpi-mimpiku? Aku terus diganggu oleh pikiran-pikiran itu
hingga beberapa hari. Nyaris sepanjang hari dan malam, pikiran itu datang ke
benakku. Kucoba bertanya ke temanku yang mengerti mimpi secara psikologis. Dia
tentu saja menerima kuceritakan dan menjelaskan tentang apa yang terjadi. Hari
dimana ia sedang senggang, kuajak dia ke kafe dimana aku melihat dan
menghampiri perempuan yang ada di mimpiku.
“Jadi.” Aku berdeham. “Dari mimpi dulu, atau dari ketemu
dulu?”
“Mimpi.”
Aku mencoba menjelaskan tentang mimpiku, dan perempuan itu.
Sayangnya, ingatanku yang pendek tidak mendukungku. Tetapi, satu hal yang tidak
bisa lepas dari pikiranku. Ciri-ciri perempuan misterius itu.
“Ada petunjuk, mungkin? Kau mengenal perempuan dengan
ciri-ciri seperti itu?”
“Tidak, sayangnya.” Dia membetulkan kacamatanya. “Dan kapan
kamu bertemu perempuan dalam mimpimu itu?”
“Minggu sore. Eh, berarti 5 hari yang lalu. Tetapi, aku
tidak ingat jam berapa.”
Ia melipat tangannya . “Kamu ingin bertemu dengan perempuan
ini lagi?”
“Kalau iya, kamu cemburu?”
“Tentu saja tidak.” Ia menjawab dengan cepat dan tegas. “Jadi,
iya?”
“Ya.”
“Tanpa alasan?”
Aku terdiam sejenak. Iya, aku tidak memiliki alasan yang
pasti untuk menghampiri perempuan itu lagi. Hati berbisik padaku, iya, kamu
punya alasan. Mungkin perempuan itu memiliki kunci untuk masalahku. Mungkin
perempuan itu adalah potongan puzzle
yang hilang dari diriku. Logika menampar hatiku. Logika mengatakan yang
sebaliknya. Bahwa aku tidak boleh kelihatan seperti penguntit yang psikopat,
dan terjebak dalam masalah yang lebih rumit. Aku menggaruk kepalaku yang tidak
gatal. Aku pergi bersama ide hatiku.
“Ada alasan. Kamu pernah bilang bahwa mimpi tidak selamanya
hanya bunga tidur, bukan?”
“Iya. Kadang mimpi memiliki arti. Kadang mimpi menyimpan
memori. Baik, atau buruk.”
“Déjà vu.”
“Aku tahu. Aku yakin aku pernah mengatakan hal yang sama
persis kepadamu.”
Kesunyian menelan percakapan kita untuk beberapa saat.
Sampai temanku tersedak Coffee Latte
yang dipesannya.
“Hei—eh, hei. Kamu tidak apa-apa?”
“Tidak. Aku baru ingat sesuatu. Berkaitan dengan mimpimu.”
Aku mengangguk pelan. “Katakanlah.”
“Perempuan itu kemungkinan besar pernah kamu jumpai, di
suatu tem—“
“Iyakah?” Kataku dengan nada tinggi dan suara yang lumayan
lantang—secara tidak sengaja, tentunya.
“Jangan sela!” Dia mengambil jeda. “Di suatu tempat, tetapi
kamu tidak ingat, atau tidak peduli. Aku pernah membaca, bahwa setiap orang
asing yang kamu jumpai di mimpi sebenarnya pernah kamu jumpai.”
Aku membisu sesaat. Membiarkan otakku mencerna apa yang
dikatakan wanita yang duduk persis di depanku ini. Aku menarik napas perlahan,
dan membuangnya perlahan. Tarik..
“Hei. Hei. Hei. Sepertinya aku menemukan apa yang kau cari.”
Apa? Apa yang sedang kucari?
“Lihat, perempuan yang keluar dari mimpimu. Kamu tidak
peduli?”
Oh, Iya. “Dimana?” Kataku dengan nada yang senormal mungkin.
“Menuju smoking area.
Sepertinya, sih. Lihatlah sendiri.”
Aku menengok kearah pintu keluar. Déjà vu, l’incident.
(P.S: Bersambung ke episode 3, kalo misalnya dipilih sama @benzbara_, yang mulai #FlashFictionBersambung dari blognya, sumber ep. 1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar